Geliat
perekonomian mulai nampak di desa desa lereng merapi, abu vulakanik tidak lagi
menyelimuti, pasir dan material vulkanik lain tidak nampak berserakan di
sepanjang jalan. Selasa, 7 Desember 2010 pagi, matahari nampak bersahabat,
menyinari Yogyakarta setelah semalaman diguyur
hujan. Kami mulai perjalanan menuju desa terdekat lereng merapi.
Matahari cukup
terik, perjalanan ke arah utara cukup padat, kami melewati jalan monjali dan
singgah di Desa Wukirsari. Rencana awal adalah membantu seorang rekan untuk
mengangkut barang barang yang masih bisa digunakan di bekas rumahnya di
pinggiran kali kuning, jaraknya sekitar 2KM dari puncak merapi tepatnya desa Pangukrejo.
Pukul 9 pagi kami mulai naik, kami hampir tidak mengenali daerah itu lagi,
samar samar kami ingat hutan pinus yang asri dan hijau. Saat kami memasuki
kawasan wisata kali kuning, kami melihat banyak polisi berjaga dan beberapa
pemuda desa berdiri di pinggir jalan semabari membuka tutup portal dan membawa
kotak kardus dengan tulisan “sumbangan sukarela”. Kondisi jalan sangat ramai,
dibeberapa titik terjadi kemacetan, tidak hanya kendaraan bermotol, banyak
mobil dengan plat nomer luar daerah yang berlalu lalang. Hari itu bertepatan
dengan hari libur nasional untuk memperingati Tahun Baru Islam.
Dari portal pertama, hingga desa Pangukrejo kami
menemukan tiga titik “sumbangan sukarela”. Beberapa pemuda desa tampak berperan
aktif mengatur lalu lintas dan terlibat dalam pengawasan ”wisata bencana” hari
itu. Saat kami tiba di lokasi, banyak rumah yang hancur, pepohonan tumbang dan
merangas. Tak banyak barang yang bisa diselamatkan, rumah rekan kami porak
poranda, meja kursi yang terbuat dari kayupun terbakar, peralatan dapur leleh,
meskipun tidak roboh namun kondisi rumah sudah tidak dapat dikenali, genting
dan kaca rumah hancur.
Kami memutuskan untuk naik lebih dekat lagi dengan
merapi, begitu banyak orang, tidak sedikit anak balita yang turut serta,
sementara angin bertiup kencang membawa debu dan sesekali aroma busuk yang
menyengat dari bangkai hewan ternak tercium.Banyak kendaraan yang berlalu
lalang, banyak orang yang berfoto foto untuk mengabadikan dampak erupsi atau
hanya sekedar eksis. Polisi terlihat kewalahan memperingati pengunjung yang
berdiri dibantaran kali kuning, seringkali suara pengeras terdengar untuk
menjauhi bibir sungai karena rawan longsor.
Desa ini sudah
ditinggal penduduknya, sebagian besar masih tinggal dipengungsian sembari
menunggu shalter selesai dibangun. Kami sempat bertemu beberapa anak usia
sekolah yang mengunjungi bekas sekolahnya yang telah hancur, mereka bercerita
tentang keinginnya kembali ke bangku sekolah, beberapa anak tampak berceloteh
tentang kenangan mereka disekolah itu.
Kami meneruskan
perjalanan dengan berjalan kaki, kami menemukan beberapa bangkai sapi yang
tergeletak dikerubuti lalat hijau, baunya sangat menyengat. Jarum jam
menunjukan hati sudah siang, awan hitam mulai mengelayuti, kami memutuskan
untuk turun sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang memprihatinkan,
semua porak poranda. Tidak banyak yang bisa kami lakukan, desa itu mati suri.
Wacana yang berkembang, setiap penduduk akan mendapatkan rumah hunian sementara
di daerah yang relatif aman dan akan diberikan santunan ganti rugi. Berdasarkan
keterangan warga, seekor sapi akan diganti Rp.10.000.000,00, setiap KK akan
diberi subsidi untuk membangun rumah sebesar Rp.15.000.000,00 dan santunan
untuk keluarga korban yang meninggal Rp.2.000.000. Meskipun belum terealisasi,
warga optimis terhadap janji pemerintah tersebut (*erz)
No comments:
Post a Comment