Monday, November 22, 2010

Hari Minggu di Kali Gendol





Media televisi masih gencar memberitakan efek surplus merapi pada 5 November lalu, yang mengusik perhatian kamu tahkala salah satu media memberitakan, kepulangan para survivor (pengungsi.red) dan turun ke jalan untuk mengemis. Kami tergerak untuk melakukan penyisiran, mencari penyebab dan mencari solusi..seperti apa perjalanan kami..(?)









Surplus merapi hari Minggu (21/11) mulai menguat kembali saat hari mulai petang, sesaat setelah kami datang ke bantaran kali Gendol sekitar 18 KM dari puncak Merapi.

















Kami menjumpai desa yang telah rata oleh abu, desa itu sunyi senyap. Praktis kegiatan ekonomi desa yang tepat berada di bantaran Kali Gendol ini lumpuh. Kami jumpai, alat pertanian teronggok tak bertuan, 3 mobil yang tinggal kerangkanya karena terjangan awan panas.







Rangka mobil ini menjadi saksi dasyatnya efek awan panas yang disemburkan gunung berapi paling aktif di dunia. Meskipun masuk dalam rangkaian gunung berapi termuda yang mengarah keselatan, namun gunung Merapi ini sangat berbahaya, sejak1548 gunung ini tercatat meletus sebanyak 68 kali. Tahun 2010 ini, teknologi tidak mampu membaca gerak erupsi merapi sehingga memakan korban lebih dari 200 nyawa.




Setelah erupsi pada 26 Oktober 2010, erupsi eksplosif berupa letusan besar kembali terjadi dimulai pagi hari Kamis, 4 November 2010 dan mencapai puncaknya pada dini hari Jumat 5 November 2010.


Erupsi ini tidak terprediksi sebelumnya, dan jarak aman yang ditetapkan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta masih 10 KM untuk arah selatan Gunung Merapi. Sehingga warga Desa Plumbon ini tidak menggungsi mengingat masih berada dalam zona aman. Namun, kenyataan berbicara lain, setelah diterjang awan panas yang meluluh lantahkan isi, radius bahaya untuk semua tempat diperbesar menjadi 20 km dari puncak Merapi.


Ketidaksiapan warga menghadapi erupsi  ini terlihat dari bangkai mobil pick up yang kami asumsikan sebagai alat transportasi untuk tanggap bencana, namun kencangnya laju awan panas lebih dulu meluluh lantahkannya.








Dibawah ini beberapa foto yang menggambarkan kondisi Desa Plumbon Cangkringan Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu 21 November 2010. Tidak ada yang tersisa di desa ini, bahkan peralatan rumah tangga tak luput dari keagungan erupsi merapi. Banyak rumah yang tersapu tak bersisa, sebagian lagi rusak berat dan berselimut abu dan material lain.










Selain ancaman awan panas, ancaman banjir badang juga patut di waspadai. Timbunan abu vulkanik yang masih labil (belum padat) sangat rawan hayut terbawa aliran air yang deras. Curah hujan dilaporkan sangat tinggi dan mampu menghanyutkan material vulkanik yang dimuntahkan Merapi. Kondisi ini diwaspadai hingga kota Yogyakarta. Permukaan sungai akan terus naik, mengingat volume lahar yang dimuntahkan mencapai jutaan meter kubik.

Sementara itu berdasarkan temuan dilapangan, abu vukanik tebal yang menutupi semua permukaan tanah di desa itu masih ditemukan titik titik yang mengepulkan asap dengan bau belerang yng sangat menyengat, tim kami mengatakan " baunya sangat menyengat dan membuat pusing."

Sejauh mata memandang kami tak dapat melihat lagi warna hijau daun yang syahdu, hembusan angin yang sejukpun tak kami dapatkan. Debu halus terus saja tersapu angin, berterbangan siap menghajar paru paru kami. Kami hanya melihat lahan kosong, pepohonan yang meranggas kepanasan bahkan kabel listrik yang terpanggang.















Rumah rumah warga yang rusak berat, terlihat lingkungan yang juga rusak. Perkebunan dan persawahan tidak terlihat lagi,semua tertutup material vulakanik yang berwarna abu abu. Matahari terlihat enggan bersinar kala itu, suasana sendu dan perihpun terasa menusuk hati kami. Tidak terdengar riuh penduduk, semuanya diam, diam dalam luka.




Kali gendol telah penuh dengan luapan lahar, berada di radius 17 kilometer dari puncak Merapi, hanya mampu menampung 18 juta juta kubik. Keadaan ini yang dikhawatirkan, karena mengancam keselamatan warga yang berada di zona aman. Karena jalan lahar dingin sudah penuh, apabila hujan turun sangat lebat dikhawatirkan aliran lahar dingin melluap dan menerjang pemukiman warga yang berada di zona aman sekalipun.

Rumah rumah penduduk masih ditinggalkan begitu saja, kami merasa sedikit lega artinya banyak warga yang masih patuh terhadap himbauan pemerintah menggenai jarak aman. Saat itu kami juga bertemu dengan seorang rekan, yang mengabarkan bahwa meraka telah mengkoordinir logistik paska pengungsian yang artinya meskipun para survivor sudah tidak berada di posko pengungsian, kebutuhan logistik tetap terpenuhi. jawaban rekan kami sekaligus menjadi langkah solutif agar warga tidak lagi turun ke jalan untuk meminta minta.

Kekhawatiran terhadap kelangsungan hidup warga disekitar lereng merapi maupun disekitar hulu kali yang dilalui lahar dingin merapi menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintah. Melihat kondisi lingkungkan yang masih belum aman dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pemulihannya sebelum dapat ditanami. Kegiatan perekonomian warga otomatis terhenti untuk waktu yang cukup lama, tidak sedikit warga survivor yang menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian dan perkebunan mereka, tidak sedikit warga yang kehilangan ternaknya.



















Seperti inilah kondisi desa yang berada di sekitar 18 KM dari puncak merapi.Sebagai informasi di lerengnya masih terdapat pemukiman sampai ketinggian 1700 M dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak. Dan erupsi merapi menyapu rata di ke empat sisinya, yakni sisi selatan Sleman, barat Boyolali, sisi timur Klaten dan Magelang Jawa Tengah. Berapa jiwa manusia masih terombang ambing, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa material merapi yang jutaan kubik ini mendatangkan banyak rejeki dan mampu menyuburkan tanah sebagai ladang pertanian. Hanya saja hasilnya langsung dapat dinikmati masih membutuhkan proses yang cukup panjang.



Langit mulai gelap, rintik hujanpun turun dan kami bergegas melanjutkan perjalanan kami. Sebelumnya kami berhenti pada titik posko terdekat dengan di Kecamatan Cangkringan mendistribusikan balsem, sandal jepit dan 4 box masker. Sepanjang jalan, yang kami lihat hanya tumpukan debu berwarna abu abu yang seringkali berterbangan menyambut kedatangan kami, tujuan kami selanjutnya adalah desa pakem..ada apa disana, nantikan ceritanya ya...(*erz)

No comments:

Post a Comment