Thursday, December 9, 2010

Ada Apa di Merapi kini??


Geliat perekonomian mulai nampak di desa desa lereng merapi, abu vulakanik tidak lagi menyelimuti, pasir dan material vulkanik lain tidak nampak berserakan di sepanjang jalan. Selasa, 7 Desember 2010 pagi, matahari nampak bersahabat, menyinari Yogyakarta setelah semalaman diguyur hujan. Kami mulai perjalanan menuju desa terdekat lereng merapi.


Matahari cukup terik, perjalanan ke arah utara cukup padat, kami melewati jalan monjali dan singgah di Desa Wukirsari. Rencana awal adalah membantu seorang rekan untuk mengangkut barang barang yang masih bisa digunakan di bekas rumahnya di pinggiran kali kuning, jaraknya sekitar 2KM dari puncak merapi tepatnya desa Pangukrejo. Pukul 9 pagi kami mulai naik, kami hampir tidak mengenali daerah itu lagi, samar samar kami ingat hutan pinus yang asri dan hijau. Saat kami memasuki kawasan wisata kali kuning, kami melihat banyak polisi berjaga dan beberapa pemuda desa berdiri di pinggir jalan semabari membuka tutup portal dan membawa kotak kardus dengan tulisan “sumbangan sukarela”. Kondisi jalan sangat ramai, dibeberapa titik terjadi kemacetan, tidak hanya kendaraan bermotol, banyak mobil dengan plat nomer luar daerah yang berlalu lalang. Hari itu bertepatan dengan hari libur nasional untuk memperingati Tahun Baru Islam.

Dari portal pertama, hingga desa Pangukrejo kami menemukan tiga titik “sumbangan sukarela”. Beberapa pemuda desa tampak berperan aktif mengatur lalu lintas dan terlibat dalam pengawasan ”wisata bencana” hari itu. Saat kami tiba di lokasi, banyak rumah yang hancur, pepohonan tumbang dan merangas. Tak banyak barang yang bisa diselamatkan, rumah rekan kami porak poranda, meja kursi yang terbuat dari kayupun terbakar, peralatan dapur leleh, meskipun tidak roboh namun kondisi rumah sudah tidak dapat dikenali, genting dan kaca rumah hancur.

Kami memutuskan untuk naik lebih dekat lagi dengan merapi, begitu banyak orang, tidak sedikit anak balita yang turut serta, sementara angin bertiup kencang membawa debu dan sesekali aroma busuk yang menyengat dari bangkai hewan ternak tercium.Banyak kendaraan yang berlalu lalang, banyak orang yang berfoto foto untuk mengabadikan dampak erupsi atau hanya sekedar eksis. Polisi terlihat kewalahan memperingati pengunjung yang berdiri dibantaran kali kuning, seringkali suara pengeras terdengar untuk menjauhi bibir sungai karena rawan longsor.

Desa ini sudah ditinggal penduduknya, sebagian besar masih tinggal dipengungsian sembari menunggu shalter selesai dibangun. Kami sempat bertemu beberapa anak usia sekolah yang mengunjungi bekas sekolahnya yang telah hancur, mereka bercerita tentang keinginnya kembali ke bangku sekolah, beberapa anak tampak berceloteh tentang kenangan mereka disekolah itu.

Kami meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki, kami menemukan beberapa bangkai sapi yang tergeletak dikerubuti lalat hijau, baunya sangat menyengat. Jarum jam menunjukan hati sudah siang, awan hitam mulai mengelayuti, kami memutuskan untuk turun sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang memprihatinkan, semua porak poranda. Tidak banyak yang bisa kami lakukan, desa itu mati suri. Wacana yang berkembang, setiap penduduk akan mendapatkan rumah hunian sementara di daerah yang relatif aman dan akan diberikan santunan ganti rugi. Berdasarkan keterangan warga, seekor sapi akan diganti Rp.10.000.000,00, setiap KK akan diberi subsidi untuk membangun rumah sebesar Rp.15.000.000,00 dan santunan untuk keluarga korban yang meninggal Rp.2.000.000. Meskipun belum terealisasi, warga optimis terhadap janji pemerintah tersebut (*erz)

No comments:

Post a Comment