Tuesday, November 16, 2010

CERITA KAMI TENTANG WARGA




Merapi menyandang status awas sejak Senin, 25 Oktober 2010 pukul 06.00 WIB. Artinya satu hari sebelum erupsi pertama terjadi. Status ini tentu saja telah disampaikan kepada warga sekitar lereng gunung merapi dan diminta untuk segera mengungsi. Namun, 26 Oktober 2010 erupsi merapi membawa serta 39 nyawa. Apa yang terjadi (?)


Senin (25/09) Koordinator Posko Induk Bencana Merapi Kabupaten Magelang, Moch Damil Ahmad Yan, mengatakan BPPTK Yogyakarta merekomendasikan warga segera mengungsi. Namun, dari 2.260 warga di desa sekitar lereng selatan Merapi hanya 351 orang yang mengungsi. Data ini menjawab pertanyaan di atas, masyarakat masih enggan mengungsi. Salah satu faktor yang menjadi alasan keenganan itu adalah kearifan lokal masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu, dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu. Masyarakat lereng merapi seperti yang dikatakan Alm. Mbah Marijan berpendapat bahwa ” merapi tidak meletus namum membangun”. Membangun, karena merapi mengeluarkan bahan material yang bermanfaat bagi masyarakat dan abu vulkaniknya mampu menyuburkan tanah untuk pertanian. Pemahaman ini memang tidak salah, namun minimnya pengetahuan bisa membuat pemahaman ini salah kaprah.

Alasan lain yang muncul adalah masyarakat merasa aman dan nyaman secara ekonomis. Dengan kata lain mereka tidak bisa begitu saja meninggalkan rumah, harta, dan sumber mata pencaharian yang sangat penting bagi mereka untuk tinggal di tempat pengungsian. Istilah rumahku adalah istanaku, mungkin pas untuk menggambarkan perasaan para pengungsi, selain bentuk fisik bangunannya terdapat nilai historis dan perjuangan tentu saja sangat berat meninggalkan itu semua. Keenganan masyarakat masih terus saja terjadi, bahkan setelah erupsi 26 Oktober 2010 bukti nyata ’keganasan’ erupsi kala itu tidak menciutkan nyali masyarakat untuk tetap tinggal dirumahnya. Erupsi hebat Jumat (5/10) dini hari kembali memakan korban, ratusan nyawa melayang. Bahan garangnya erupsi kali itu tidak mampu membendung keinginan masyarakat untuk kembali pulang meskipun status merapi masih awas. Beberapa warga terlihat melakukan aktivitasnya dirumah masing masing pada siang hari, sebagian datang lagi ke posko namun tidak sedikit yang tinggal dirumah. Pemerintah mengeluarkan wacana untuk mengganti ternak milik warga yang mati akibat erupsi. Namun krisis kepercayaan warga terhadap negara yang kaya birokrasi ini, menjadikan warga tetap berjuang menyelamatkan ternak yang merupakan sumber mata pencaharian mereka. Bahkan cerita duka datang dari posko pengungsian, ketika seorang warga rela menghabisi nyawanya sendiri ketika mengetahui 3 sapinya mati diterjang awan panas, padahal anak dan istrinya selamat.
Kehilangan harta benda, kehilangan sanak saudara bukanlah hal yang mudah diterima. Kehilangan yang menimbulkan beban psikis luar biasa, beban yang kasat mata, namun mampu menghancurkan kehidupan manusia. Apa yang mampu kita lakukan untuk mereka?Bantuan seperti apa yang mampu mengurangi beban psikis yang mereka tanggung setelah status merapi berubah?(*erz)

No comments:

Post a Comment