Wednesday, November 10, 2010

Sebuah Narasi

Setelah letusan Merapi yang terdahsyat pada  Jumat, 5 November 2010 dini hari - jika dibandingkan dengan dua  letusan besar sebelumnya  pada 26 Oktober dan 30 Oktober 2010 - posko-posko pengungsian yang semula sudah ‘mapan’ dan terstruktur terpecah kembali. Hal ini dikarenakan radius aman Merapi berubah drastis dalam beberapa jam saja, semula 15 km  menjadi 20 km dari puncak Merapi. Kami, selaku Tim Relawan Solidaritas Merapi Gabungan Mahasiswa dan Alumni Atma Jaya Yogyakarta, melakukan penyisiran mulai dari wilayah Muntilan hingga Kulon Progo pada hari Sabtu, 6 November 2010 dan Minggu, 7 November 2010. Penyisiran ini selain bertujuan untuk memberikan bantuan kepada para pengungsi, juga untuk melihat situasi dan perkembangan terkini di wilayah tersebut pasca erupsi Jumat dini hari tersebut. Sehari sebelum penyisiran, kami sudah mengirim beberapa anggota tim untuk melihat dan mengenal situasi di beberapa tempat tersebut.

Lokasi pertama yang menjadi target penyisiran kami adalah Desa Banjararum, Kulon Progo dan dilaksanakan pada Sabtu, 6 November 2010. Meskipun menjadi lokasi pengungsian warga korban letusan gunung merapi, tempat ini sangat memprihatinkan. Semua terlihat satu warna, yakni abu abu karena tersiram debu vulkanik. Beruntungnya, TNI bergerak cepat dengan mendirikan dapur umum. Namun kebutuhan logistik masih jauh dari cukup, jumlah pengungsi yang terdata saat itu mencapai 750 jiwa dan diperkirakan akan terus meningkat. Hari Minggu, 7 November 2010 survey kami lanjutkan ke desa Ngluwar, Muntilan, kondisi daerah ini lebih memprihatikan, pohon pohon tumbang dan sangat berdebu yang berbahaya bagi kesehatan. Dari hasil survey kami, beberapa posko di daerah ini belum tersentuh, termasuk posko yang kami kunjungi SD Jamus II Dusun Dersanan dengan jumlah pengungsi : 206 orang (Wanita : 56 ; Bayi : 25 ; Lansia : 14).

Berdasarkan data dari hasil survey rekan kami, kondisi posko di kecamatan Ngluwar aliran listrik di daerah ini pun masih padam akibat pohon yang tumbang belum berhasil disingkirkan. Kebutuhan logistik tempat ini pun belum mencukupi. Posko ini belum memiliki dapur umum sehingga kebutuhan makan dan minum pegungsi disiapkan di rumah penduduk. Kebutuhan MCK (Mandi, Cuci, Kakus) belum memenuhi jumlah pengungsi di daerah tersebut. Kondisi pengungsian yang berada di tengah perkebunan memperbesar resiko terserang penyakit yang diakibatkan oleh nyamuk.

Kami mulai bergerak pada Senin, 8 November 2010 setelah menyiapkan logistik, yakni beras, sayuran, obat nyamuk dan masker. Logistik pertama kali kami dapatkan dengan sistem kanibaal, dimana kami mengambil dari posko yang memiliki ‘kelebihan’ logistik. Perjalanan dimulai dari Muntilan tepatnya di kecamatan Ngluwar yang memiliki empat titik lokasi, yaitu SD Jamus II Dersanan, Masjid Jetis Jamus, SDN Jamus-Kantor Kelurahan, dan SMP Jamus. Selanjutnya kami menempuh perjalanan menuju Desa Banjararum untuk mendistribusikan bantuan ke posko pengungsian yang berada di daerah ini.  Berdasarkan pengamatan kami di lapangan sebenarnya Desa Banjarasri termasuk daerah yang tidak cukup layak untuk dijadikan sebagai posko pengungsian, mengingat kondisi desa yang masih dipenuhi dan tertutup oleh debu dan pasir akibat letusan Merapi. Demikian pula keadaan jalan dan posko pengungsian diselimuti debu yang beterbangan.

Sesuai dengan pemetaan wilayah yang telah kami lakukan di malam sebelumnya, setelah mendistribusikan bantuan di dua daerah tersebut, kami melakukan penyisiran di sepanjang jalan Muntilan menuju Kulon Progo. Dalam penyisiran yang menggunakan jalur dalam kota ini, kami menemukan banyak sekali warga masyarakat yang tidak menggunakan masker untuk menutupi hidung dan mulut mereka dari debu tebal yang menyelimuti jalanan. Tentu saja ini membahayakan kesehatan mereka sendiri. Alasan mereka tidak mengenakan masker karena masker hanya  didistribusikan secara gratis di daerah bencana, sedangkan masyarakat yang berada di sekitar daerah bencana jika ingin mendapatkan masker diwajibkan membeli dengan harga yang tidak murah, sekitar Rp 2.000,00 hingga Rp 4.000,00. Padahal penggunaan masker berbahan kapas harus sering diganti, sehingga satu orang tidak cukup membeli sebuah masker saja.  Sepanjang perjalanan inilah kami membagi-bagikan masker secara cuma-cuma kepada masyarakat.

Kondisi lokasi pengungsian di Kecamatan Ngluwar bernuansa sephia, aksen warna yang hanya sering kami lihat dalam dunia fotografi untuk memberi  kesan sedih, putus asa atau suram. Desa yang biasanya sejuk dan asri karena pepohonan yang hijau, tidak dapat kita jumpai lagi. Banyak pohon yang tumbang dan mati, namun lebih mengkhawatirkan pohon yang hangus dan kropos namun masih berdiri, karena pohon ini bisa tumbang kapan saja dan sangat berbahaya. Penyebab perubahan d daerah ini adalah adanyaa hujan abu, pasir, dan kerikil sebagai akibat dari erupsi Merapi. Menurut penuturan Lurah Banjaroyo, Pak Wiwin,  erupsi Merapi kali ini tidak seperti erupsi-erupsi sebelumnya. Bahkan beliau tidak pernah menyangka dampak yang ditimbulkan dari erupsi Merapi kali ini demikian besarnya. Sewaktu hujan kerikil dan pasir terjadi, beliau mengendarai mobilnya  ke bawah (turun bukit, ke arah Kalibawang) untuk menyelamatkan dirinya sekaligus mencari anggota keluarganya. Namun usaha yang dilakukannya tidak berjalan lancar, karena dalam perjalanannya ke bawah ia terhalang oleh pohon-pohon yang mulai rubuh akibat terlalu berat menahan material vulkanik dari erupsi Merapi. Akhirnya beliau memutuskan untuk kembali dan mengganti mobilnya dengan motor agar lebih mudah melewati jalanan yang rusak parah. Sesaat setelah berhasil mengevakuas keluarganya, Pak Wiwin mendapat tugas dari aparat kecamatan Kalibawang untuk merespon pengungsi hibahan dari Magelang dan Muntilan yang mencari daerah aman di Kulon Progo.

Pada hari yang sama kami mengunjungi posko SD Jamus II Dersanan, Masjid Jetis Jamus, SDN Jamus-Kantor Kelurahan, dan SMP Jamus, posko kecil di sendangsono dan samigaluh. Logistik yang kami bawa adalah sayuran, kentang hal ini dikarena posko mengalami kesulitan mencari barang mentan yang biasa di dapat dari Boyolali karena daerah tersebut diterjang awan panas. Selain bahan masakan, kami juga membawa perlenkapan mandi, mie instan dan obat nyamuk.  Setelah pembagian masker, kami berangkat menuju puncak Suroloyo untuk melihat kondisi kota Yogyakarta dan sekitarnya. Dalam pengamatan kami seluruh daerah yang dapat diamati dari puncak Suroloyo (Muntilan, Magelang, Yogyakarta) tertutup debu tipis vulkanik (foto terlampir).

Setelah mengirim logistik ke titik posko di Kec. Ngluwar kami bergerak ke sisi barat daya  yaitu Kec. Banjararum, Kulon Progo. Daerah ini tidak layak sebagai tempat penampungan pengungsi,menurut hasil pengamat tim survey kami lokasi ini seharusnya disterilisasikan karena debu vulkanik sangat tebal dan berbahaya, nyatanya di Kec Banjarasri dijumpai lebih dari 750 jiwa pengungsi. Sepanjang perjalanan, debu berterbangan hingga kendaraan kami sangat kotor, bahkan kami menggunakan masker meskipun berada dalam kendaraan tertutup. Medan menuju kecamatan ini sangat berat, selain abu yang cukup tebal sepanjang perjalanan kami juga melalui krikil tanjam dan basah akibat hujan, jarak pandan hanya 10 meter. Saat kami tiba, TNI telah membangun dapur umum, namun kebutuhan logistik pangan masih sangat kurang mengingat jumlah pengungsi terus bertambah. Merespon hasil survey, kami membawa logistik berupa sayuran mentah, masker beras,sayur,kentang dan obat nyamuk untuk di distribusikan ke Kec. Banjararum. Fasilitas MCK cukup baik, karena pengungsi menempati kantor dan gedung sekolah,meskipun jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah pengungsi.

Kami mendatangi 1 posko induk dan mendistribusikan ke 4 posko kecil yang tersebar di Kec. Banjararum. Mayoritas posko diselimuti abu tebal, kerikil dan pasar yang cukup tebal. Saat kami datang, masih banyak pengungsi yang tidak menggunakan masker baik anak anak maupun orang dewasa. Kedatangan kami disambut dengan baik oleh warga, kami sempat melihat alun alun yang telah di desain sebagai tempat hiburan semacam sekaten yang terpaksa ditutup terpal karena bencana alam ini.Para pengungsi terkumpul dalam satu ruang dan tidur beralaskan tikar yang tipis. Terbersit dalam pikiran kami, betapa banyak kebahagian yang tertunda, penghasilan yang terhenti dan ritme kehidupan yang tersendat. Kami yang tidak terkena dampak langsung dari merapi, berusaha membagi sedikit perhatian dan empati.

written by : Switzy Sabandar

No comments:

Post a Comment